
Sangat kreatif, mungkin istilah itu tepat disematkan bagi Gene Roddenberry karena ia telah menciptakan salah satu serial fiksi ilmiah Star Trek. Di serial ini penonton sering diperlihatkan berbagai perangkat canggih seperti teleconference atau alat pemindai wajah. Sehingga bisa dikatakan Gene Roddenberry sudah memiliki bayangan soal perangkat digital di masa lalu yang lazim digunakan masa kini.
Di saat teknologi tambah canggih, perangkat gawai akrab dengan aktivitas manusia, sehingga interaksi antar personal turut terdampak, yang semula banyak mengandalkan sentuhan fisik atau human touch atau luar jaringan, bergeser menjadi dalam jaringan (daring), pemicunya adalah penggunaan smartphone atau ponsel.
Pengaruhnya sangat luas, dapat dipastikan saat ini hampir seluruh transaksi terhubung melalui perangkat gawai atau digital, termasuk bank sebagai lembaga jasa keuangan. Hadirnya layanan atau fitur digital merupakan buah tuntutan perubahan iklim industri karena didorong kemajuan teknologi.
Perbankan menjadi akrab dengan transformasi digital sebagai tanggapan bank menyikapi peta persaingan. Menurut Klaus Schwab, pakar ekonomi digital, transformasi digital merupakan bagian dari Revolusi Industri 4.0, di mana integrasi teknologi seperti AI, IoT, dan big data mengubah cara perusahaan beroperasi dan bersaing.=
Gartner, Inc. menyebutnya sebagai proses pemanfaatan teknologi digital untuk menciptakan inovasi radikal dalam model bisnis, proses, dan pengalaman pelanggan guna memenuhi tuntutan pasar yang terus berubah.
Jadi yang sesungguhnya terjadi di perbankan Indonesia adalah transformasi digital, bank bukan hanya semata-mata menyediakan layanan berbasis teknologi tapi dituntut secara organisasi, budaya dan kerangka kerja berbasis teknologi.
Setelah era demam bank digital yang sempat ramai beberapa tahun silam, lantas bagaimana kabar bank digital dan transformasi digital perbankan di Indonesia?
Perbedaan Proses Bank Digital Indonesia dan Global
Mengacu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12 /POJK.03/2021, mengenai bank digital disinggung seperti ini, Bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, yang dalam kegiatannya tidak memberikan layanan melalui kantor fisik (branchless) atau dapat memberikan layanan melalui kantor fisik yang terbatas, dan terutama menggunakan sarana elektronik atau digital dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Kemudian di Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.03/2023 ditegaskan Bank Konvensional atau Bank Syariah yang menyelenggarakan kegiatan usaha terutama melalui saluran elektronik tanpa memiliki kantor fisik atau memiliki kantor fisik terbatas, serta memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam POJK ini.
Jadi pada dasarnya hingga saat ini berdasarkan kedua aturan tersebut, seluruh bank yang mengklaim sebagai digital secara izin operasional yang direstui OJK adalah berbadan Bank Konvensional atau Syariah namun memberikan layanan non-fisik atau elektronik, dimungkin tanpa memiliki kantor fisik atau secara terbatas. Intinya secara izin resmi belum ada bank digital murni.
Proses pembentukan bank digital melalui POJK No. 12/2021 tentang Bank Umum dan POJK No. 12/2023 tentang Penyelenggaraan Produk dan Aktivitas Bank di Indonesia adalah investor membeli atau mengakuisisi bank umum kemudian layanan operasionalnya dibuat berbasis elektronik dengan merampingkan kantor cabang dan meminimalkan proses manual.
Sementara contoh kasus di luar negeri, ekosistem bank digital dibentuk dari nol atau greenfield. Regulator setempat menyediakan izin baru khusus untuk bank digital murni, tanpa kewajiban memiliki cabang fisik.
Sehingga jika mencontoh KakaoBank di Korea Selatan atau Monzo di Inggris, dari awal berdiri mereka sudah berbasis teknologi, dengan persyaratan memenuhi ketentuan memenuhi modal, tata kelola, manajemen risiko, dan sistem teknologi informasi yang setara dengan bank umum.
Perbedaan proses ini yang menjadikan tahapan perkembangan bank digital di Indonesia baik dari sisi regulasi dan industri tidak dapat disamakan begitu saja dengan negara lain, sehingga lebih tepatnya bank di Indonesia masuk ke masa transformasi digital.
Pandangan dan Arah Kebijakan Regulator
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia 2020-2025 terus mendorong bank untuk mengadopsi teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI) dan API, serta memperkuat kolaborasi dengan fintech.
Aspek keamanan data pribadi, persaingan yang ketat, dan profitabilitas menjadi fokus utama. Dengan disahkannya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), bank diharapkan dapat semakin memperkuat perlindungan data nasabah.
Kasus peretasan dan kebocoran data, seperti BSI mengalami serangan siber oleh kelompok peretas LockBit 3.0 yang menggunakan ransomware, menjadi contoh nyata pentingnya bank untuk lebih menjaga dan memperkuat sistem pertahanannya.
Secara umum arah dan kebijakan OJK tertuju pada beberapa hal:
1. Menjaga Stabilitas dan Keamanan Sistem Keuangan
Melalui POJK 12/2021 dan 12/2023, OJK menetapkan modal minimum Rp10 triliun, manajemen risiko digital, dan infrastruktur TI sebagai prasyarat utama.
2. Inovasi Terkendali
Produk digital baru harus melalui sandbox---lingkungan pengujian yang diawasi regulator sebelum dirilis secara luas.
3. Perlindungan Nasabah
Penekanan pada keamanan siber, biometrik, enkripsi, dan pencegahan penipuan.
4. Inklusi dan Literasi Keuangan Digital
Edukasi dan perluasan akses bagi UMKM serta masyarakat luas menjadi prioritas.
Persaingan Perbankan di Layanan Digital
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa nilai transaksi melalui saluran digital perbankan mencapai Rp87 kuadriliun per Desember 2024. Angka ini menunjukkan pertumbuhan yang sangat kuat, yaitu 50,6% secara year-on-year (yoy).
Tren transaksi berbasis elektronik alias non-tunai memang semakin digemari masyarakat, tak heran jika bank berlomba mengupayakan layanan digital terbaik, walaupun menghadapi situasi yang cukup menantang juga.
Persoalan mendasar transformasi digital di perbankan Indonesia meliputi banyak aspek, karena faktor ekosistem lama yang sudah terbiasa proses manual seiring tuntutan persaingan dipaksa harus melakukan perubahan, muncul kesenjangan dari sisi kesiapan SDM, infrastruktur dan budaya.
Umumnya bank digital dan bank lainnya di Indonesia menghadapi situasi yang sama karena bersumber dari arah dan kebijakan OJK yaitu
1. Akses Infrastruktur dan Validasi Data
Jangkauan ke daerah terpencil masih menjadi kendala, ditambah isu integrasi dan keakuratan data e-KYC.
2. Model Bisnis dan Monetisasi
Banyak bank digital masih di fase akuisisi dan ekspansi, belum menghasilkan profit signifikan.
3. Keamanan Siber dan Kepercayaan
Peralihan ke sistem digital membuka celah serangan. Insiden sekecil apa pun dapat merusak reputasi bank.
4. Persaingan dan Diferensiasi
Produk dan layanan seragam memaksa bank untuk berinovasi lewat kolaborasi dan pengalaman pengguna yang unik.
5. SDM dan Infrastruktur TI
Keterbatasan tenaga ahli dan biaya tinggi menjadi tantangan, sehingga banyak bank mengandalkan vendor dan konsultan.
Biaya investasi di bidang TI tidak murah, contoh Bank Maspion memang mengalokasikan dana sebesar Rp 3 triliun sebagai capital expenditure (capex) untuk pengembangan digital. Maka keberlangsungan dan pencapaian target bisnis bank digital perlu diperhitungan sangat matang.
Pada September 2021, Jahja Setiadmaja yang kala itu masih menjabat Presiden Direktur BCA sempat mengungkapkan bahwa di masa mendatang diperkirakan hanya akan ada sekitar tiga bank digital besar yang akan bertahan dan mendominasi pasar di Indonesia.
Dan menurutnya kuncinya adalah ekosistem yang kuat, modal bank, mampu menjangkau skala ekonomi yang luas, keunggulan di pengalaman pengguna yang puas. Meskipun banyak pemain yang bermunculan, persaingan yang intens dan tuntutan investasi besar akan menyaring pemain yang kurang efisien atau yang tidak memiliki fondasi yang kuat.
***
Sebuah refleksi dari film fiksi ilmiah seperti Star Trek, ada kalanya imajinasi mendorong pemikiran tentang potensi teknologi, tantangan masa depan, dan makna peradaban. Di masa modern ketika semua bergantung pada eksistensi teknologi, menjadi pertanyaan apa jadinya kehidupan jika suatu saat semua jaringan koneksi antar perangkat terganggu. Begitu bergantung kah kita?
Ini bukan lagi sekadar skenario fiksi ilmiah, melainkan sebuah ujian nyata bagi ketahanan dan kebijaksanaan peradaban. Jika kita memilih jalur konsolidasi digital yang ekstrem, maka tanggung jawab untuk membangun resiliensi luar biasa besar terletak pada segelintir pemain dominan tersebut, menuntut investasi keamanan siber dan rencana kontingensi yang berlapis. Namun, bukankah ini juga saatnya kita merenungkan kembali makna kemajuan?