
Meski Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali bersikap ofensif dalam kebijakan perdagangannya, pelaku pasar global tetap menunjukkan ketenangan. Investor juga akan mencermati data inflasi AS dan menunggu keputusan suku bunga Bank Indonesia (BI). Indeks harga saham gabungan (IHSG) diperkirakan bakal menguat pekan ini.
"IHSG berpotensi menguat dengan kisaran support di level 6.900 sampai 7.000 dan resistance di 7.100 hingga 7.181," kata analis pasar modal Hans Kwee kepada Jawa Pos, Minggu (13/7).
Dia menjelaskan, Trump memberlakukan tarif tambahan terhadap Kanada, Brasil, serta produk-produk strategis seperti tembaga, farmasi, dan chip semikonduktor. Namun, reaksi pasar cenderung tenang. Hal ini menunjukkan bahwa investor mulai terbiasa dengan manuver kebijakan dagang orang nomor 1 AS itu.
Menurut dia, pelaku pasar saat ini lebih fokus pada laporan keuangan kuartal kedua yang akan mulai dirilis. Arah kebijakan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) menjadi perhatian utama. Meskipun bank sentral AS itu diperkirakan tidak akan menurunkan suku bunga pada pertemuan Juli mendatang.
"The Fed biarpun diperkirakan tidak akan menurunkan suku bunga pada pertemuan Juli, tetapi ada peningkatan optimisme The Fed dapat melakukan dua kali pemotongan bunga di akhir 2025," kata Hans.
Di sisi lain, Uni Eropa tengah berupaya menjalin kesepakatan dagang dengan AS. Menjelang akhir pekan, sentimen pasar menunjukkan respons positif terhadap kemungkinan tercapainya kesepakatan tersebut. Yang mana dapat meredam ketegangan perdagangan global.
Emerging Market Menguat, Dana Asing Masuk
Kondisi ini turut berdampak positif terhadap pasar negara berkembang (emerging market). Indeks saham negara-negara tersebut menunjukkan penguatan, mengesampingkan kekhawatiran terhadap tarif dagang AS. "Ekspektasi pemotongan suku bunga oleh The Fed mendorong aliran dana asing masuk ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia," jelas dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Trisakti itu.
Meski begitu, Hans mengingatkan, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam hal tarif perdagangan. Sedang berjuang mendapatkan tarif yang lebih rendah untuk barang masuk ke AS. Mengingat, saat ini Indonesia dikenakan tarif 32 persen jauh lebih tinggi dibandingkan Vietnam dan Filipina.
"Ini tentu menjadi tekanan terhadap ekspor dan berpotensi menaikkan defisit transaksi berjalan," ujarnya.
Untuk pekan ini, lanjut Hans, investor akan mencermati data inflasi AS. Baik pada tingkat konsumen maupun produsen yang diperkirakan mengalami kenaikan. Dari dalam negeri, pelaku pasar menantikan keputusan rapat dewan gubernur (RDG) BI yang diperkirakan tetap mempertahankan BI rate.