
Banyak orang mengira penyebab utama putus atau perceraian adalah perselingkuhan, masalah keuangan, dan pertengkaran tanpa henti.
Namun, jarang disadari bahwa akar dari masalah-masalah tersebut sering kali adalah resentment atau perasaan kesal dan sakit hati yang terpendam.
Resentment membuat kita merasa marah dan getir terus-menerus. Hubungan pun jadi renggang, kepercayaan memudar, dan interaksi berubah menjadi pertengkaran kecil yang tak ada habisnya.
Jika siklus ini tidak segera dihentikan, bukan tidak mungkin berakhir pada perpisahan atau perceraian. Langkah pertama? Kenali kebiasaan normal yang tanpa sadar bisa menumbuhkan resentment.
Dilansir dari Your Tango, berikut lima kebiasaan normal yang bisa merusak suatu hubungan:
1. Ketidakseimbangan Tanggung Jawab
Salah satu pemicu rasa kesal adalah perasaan diperlakukan tidak adil. Misalnya, dalam hubungan heteroseksual, istri sibuk mengurus anak sendirian sementara suami santai bermain game atau nongkrong dengan teman.
Meski terkadang tidak ada niat buruk, kurangnya pembagian tugas yang adil bisa membuat salah satu pihak merasa dikhianati.
2. Sering Menunda Saat Diminta Bantuan
Pasangan yang dimintai bantuan tapi malah menunda dengan alasan seperti, “Sebentar lagi selesai nonton,” atau “Nanti ya, bentar lag" tanpa benar-benar datang membantu, dapat menimbulkan frustrasi.
Jika hal ini berulang dan tidak dibicarakan, perasaan tidak dihargai akan semakin menguat.
3. Lupa Tanggal Penting dan Meremehkannya
Ulang tahun, hari jadi, atau momen berharga lainnya yang terlupakan, lalu dianggap remeh tanpa usaha memperbaikinya, dapat melukai perasaan pasangan.
Contohnya, saat suami lupa ulang tahun istri dan berkata, “Kenapa sih dibesar-besarin?”
Sikap seperti ini membuat pasangan merasa tidak penting di mata kita.
4. Sulit Memaafkan Kesalahan Lama
Jika pasangan terus mengungkit kesalahan masa lalu dan tidak mau memaafkan, hubungan akan terasa seperti hukuman seumur hidup.
Kondisi ini memupuk rasa tidak adil dan memperlebar jarak emosional.
5. Memendam Amarah Hingga Meledak
Ada orang yang memilih diam saat kesal, lalu mengeluarkan semua unek-unek sekaligus saat bertengkar. Bagi pasangan, ini terasa seperti serangan mendadak dan membuatnya bertanya-tanya, “Kalau memang ada masalah, kenapa tidak dibicarakan dari awal?”
Memendam masalah hanya membuat bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Resentment bisa muncul dari satu kejadian, tapi lebih sering terjadi akibat akumulasi rasa tidak dihargai dan diabaikan. Bahkan, penelitian Dr. John Gottman menemukan bahwa 67% pasangan baru yang memiliki anak merasa tidak bahagia dalam tiga tahun pertama salah satunya karena tidak merasa diapresiasi.
Misalnya, suami berkata dirinya lelah padahal tidur nyenyak semalaman, sementara istri harus bangun 3–4 kali untuk mengganti popok atau menyusui. Jika perasaan ini tidak diungkapkan, resentment akan tumbuh diam-diam.
Kabar baiknya, resentment bisa diatasi. Kuncinya adalah membicarakan masalah secara terbuka dan membuat rencana perbaikan bersama.
Jangan menunggu masalah menumpuk ungkapkan perasaan segera, dengarkan pasangan tanpa menghakimi, dan berkomitmen untuk mengubah pola komunikasi.
Resentment berkembang saat pasangan mengabaikan perasaan satu sama lain. Kebiasaan yang terlihat sepele bisa menjadi racun bagi hubungan jika tidak segera diatasi.
Jangan biarkan rasa kesal terpendam menghancurkan cinta yang sudah dibangun karena mencegah selalu lebih mudah daripada memperbaiki.