Oleh: Pravitasari dan Andi Pancanugraha
Pegawai di Kemendukbangga/BKKBN
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai tajuk utama pemberitaan mencerminkan adanya kekhawatiran yang semakin besar terhadap penurunan fertilitas.
Narasi krisis fertilitas telah mendominasi perhatian para pemimpin politik dunia dari mulai Elon Musk yang menyebut penurunan fertilitas sebagai "keruntuhan populasi" hingga peringatan Yoon Suk Yeol tentang "krisis demografi nasional" di Korea Selatan.
Indonesia pun tidak kebal terhadap kekhawatiran ini karena angka kelahiran total yang terus menurun, sementara jumlah penduduk lanjut usia akan terus meningkat.
Selama ini, kebijakan kependudukan Indonesia dievaluasi melalui indikator seperti angka kelahiran total (total fertility rate/TFR), rasio ketergantungan, dan seberapa dekat kita dengan "bonus demografi".
TFR dan parameter demografis lainnya seringkali disalahartikan sebagai tujuan akhir dari kebijakan kependudukan. Namun, laporan State of World Population 2025 dari United Nations Population Fund (UNFPA) menekankan bahwa isu sebenarnya terkait fertilitas di Asia dan Pasifik bukanlah soal jumlah kelahiran, melainkan penyangkalan terhadap kemampuan individu untuk mengambil keputusan yang terinformasi tentang kehidupan reproduksi, masa depan, dan keluarganya.
Kini Indonesia berada di titik krusial. Diperlukan pergeseran paradigma dalam memahami dan merespons penurunan populasi. Fertilitas rendah seharusnya dilihat sebagai sinyal untuk menelaah alasan individu memilih untuk memiliki anak lebih sedikit.
Untuk memahami penurunan fertilitas secara bermakna, kita harus bertanya terlebih dahulu: apakah tanggung jawab pengasuhan dibagi secara adil di dalam rumah tangga dan didukung kebijakan publik? Apakah orangtua memiliki akses terhadap layanan penitipan anak yang terjangkau, pendidikan berkualitas, dan layanan kesehatan yang komprehensif? Apakah anak muda mampu merencanakan masa depan tanpa terbebani ketidakpastian ekonomi?
Lebih dari itu, penting untuk menyadari bahwa penurunan fertilitas sering kali mencerminkan eksklusi sistemik terhadap perempuan dalam dunia kerja dan ruang publik. Ketika sistem sosial dan ekonomi tidak mengakomodasi beban ganda perempuan sebagai pekerja dan pengasuh, maka pilihan untuk memiliki anak menjadi semakin berat. Dengan demikian, respons kebijakan tidak bisa netral gender.
Reformasi dalam perlindungan kerja, cuti orangtua, dan fleksibilitas kerja menjadi bagian dari strategi jangka panjang yang harus terintegrasi dalam kebijakan kependudukan.
Lebih lanjut, kebijakan kependudukan juga harus mampu menjawab dinamika aspirasi generasi muda yang semakin menuntut keseimbangan antara kehidupan personal, karier, dan peran sosial.
Keputusan seseorang menunda pernikahan atau memilih tidak memiliki anak, bisa jadi bukan semata-mata karena individualisme, tetapi karena mereka menghadapi sistem sosial dan ekonomi yang tidak responsif terhadap kebutuhan mereka.
Oleh karena itu, kebijakan yang ingin meningkatkan fertilitas tidak boleh bersifat koersif atau dalam bentuk insentif jangka pendek semata.
Diperlukan upaya untuk membenahi kondisi sosial ekonomi secara menyeluruh, dari harga hunian yang terjangkau hingga inklusi dalam dunia kerja yang mendukung peran keluarga.
Hal yang sama berlaku pula dalam memahami penuaan penduduk. Parameter demografis tradisional seperti rasio ketergantungan sering kali membingkai lansia sebagai beban.
Tak heran, ini memicu kepanikan dan dorongan untuk “memperbaiki” struktur umur. Cara pandang ini sudah usang dan berisiko mengabaikan kontribusi serta kapasitas kelompok lansia.
Sebaliknya, Indonesia perlu meninjau ulang metrik tersebut dan mengadopsi pendekatan yang mengakui potensi dari populasi lanjut usia. Hal ini termasuk investasi pada infrastruktur ramah lansia, pembelajaran sepanjang hayat, serta program lintas generasi.
Untuk mewujudkan pergeseran paradigma ini ke dalam praktik, Indonesia memerlukan pendekatan kebijakan kependudukan yang terpadu dan bukan sekadar berfokus pada target demografis, tetapi harus menyentuh hambatan struktural dalam kehidupan berkeluarga.
Pemerintah Indonesia baru-baru ini menerbitkan Desain Besar Pembangunan Kependudukan (DBPK), suatu kerangka terpadu yang akan ditindaklanjuti dengan Peta Jalan Pembangunan Kependudukan (PJPK) di tingkat provinsi.
Hal ini merupakan peluang untuk memastikan bahwa kebijakan kependudukan dapat dijalankan secara kontekstual di daerah.
Meskipun begitu, kerangka ini harus dipahami lebih dari sekedar target-target demografis dan menyentuh faktor-faktor nyata yang memengaruhi kehidupan masyarakat. Misalnya, hunian yang layak, penitipan anak yang terjangkau, pendidikan yang berkualitas, pembagian beban pengasuhan yang setara, dan layanan kesehatan yang mudah diakses.
Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, bersama kementerian terkait, harus memimpin koordinasi ini dengan komitmen bersama untuk pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centered development).
Hanya dengan menyelaraskan sistem-sistem ini, Indonesia dapat menciptakan lingkungan di mana individu memiliki kendali atas pilihan hidup mereka dan keluarga dapat berkembang dalam setiap tahap kehidupannya.
Kebijakan kependudukan yang bermakna seyogianya tidak lagi ditujukan untuk mencapai hasil demografis atau tingkat fertilitas tertentu.
Sebaliknya, seperti yang ditegaskan dalam International Conference on Population and Development (ICPD), kebijakan kependudukan harus berfokus pada pemberdayaan individu untuk dapat menjalani hidup yang bermartabat.
Langkah selanjutnya bagi Indonesia bukanlah mengikuti kepanikan fertilitas seperti yang terjadi di negara lain, tetapi memimpin dengan visi baru. Dalam hal ini, visi yang memandang kebijakan kependudukan sebagai upaya memberdayakan manusia untuk dapat mencapai aspirasinya.***