-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Strategi Kependudukan

Jumat, 01 Agustus 2025 | Agustus 01, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-02T07:35:27Z

Oleh: Pravitasari dan Andi Pancanugraha

Pegawai di Kemendukbangga/BKKBN

Dalam beberapa tahun terakhir, ber­ba­gai tajuk utama pemberitaan mencer­min­kan adanya kekhawatiran yang semakin besar terhadap pe­nu­runan fertilitas.

Narasi krisis fertilitas telah mendominasi perhatian para pemimpin politik dunia dari mulai Elon Musk yang menyebut penurunan fertilitas sebagai "keruntuhan po­pulasi" hingga peringatan Yoon Suk Yeol tentang "krisis demografi nasional" di Korea Selatan.

Indonesia pun tidak kebal terhadap kekhawatiran ini karena angka kelahiran total yang terus menurun, sementara jumlah penduduk lanjut usia akan terus meningkat.

Selama ini, kebijakan ke­pendudukan Indonesia di­eva­luasi melalui indikator seperti angka kelahiran total (total fertility rate/TFR), rasio ketergantungan, dan seberapa dekat kita dengan "bonus demografi".

TFR dan parameter demo­grafis lainnya seringkali disa­lahartikan sebagai tujuan ak­hir dari kebijakan kependu­dukan. Namun, laporan Sta­te of World Population 2025 dari United Nations Population Fund (UNFPA) mene­kan­­kan bahwa isu sebenar­nya terkait fertilitas di Asia dan Pasifik bukanlah soal jum­lah kelahiran, melainkan penyang­kal­an terhadap kemampuan individu untuk mengambil ke­putusan yang terinformasi tentang kehi­dup­an reproduksi, masa depan, dan keluarganya.

Kini Indonesia berada di titik krusial. Diperlukan per­ge­seran paradigma dalam me­mahami dan merespons penurunan populasi. Fertilitas rendah seharusnya dilihat sebagai sinyal untuk menela­ah alasan individu memilih un­tuk me­miliki anak lebih se­dikit.

Untuk memahami penu­run­an fertilitas secara ber­mak­­­­na, kita harus bertanya ter­­lebih dahulu: apakah tang­­­­gung jawab pengasuhan dibagi secara adil di dalam ru­mah tangga dan didukung kebijakan publik? Apakah orangtua memiliki akses ter­ha­­­­dap layanan penitipan anak yang terjangkau, pendi­dikan berkualitas, dan layan­an kesehatan yang komprehensif? Apakah anak muda mampu merencana­kan masa depan tanpa terbebani ketidakpastian eko­nomi?

Lebih dari itu, penting untuk menyadari bahwa penurunan fertilitas sering kali mencerminkan eksklusi sistemik terhadap perempuan dalam dunia kerja dan ruang publik. Ketika sistem sosial dan ekonomi tidak mengakomodasi beban ganda perempuan sebagai pekerja dan pengasuh, maka pilihan untuk memiliki anak menjadi se­makin berat. Dengan de­mi­­kian, respons kebijakan tidak bisa netral gender.

Reformasi dalam perlindungan kerja, cuti orangtua, dan fleksibilitas kerja menjadi bagian dari strategi jangka panjang yang harus terinte­gra­si dalam kebijakan kependudukan.

Lebih lanjut, kebijakan ke­pendudukan juga harus mam­pu men­jawab dinamika aspirasi generasi muda yang semakin menuntut keseimbangan antara kehidupan per­sonal, karier, dan peran sosial.

Keputusan seseorang me­nun­da pernikahan atau me­mi­lih tidak memiliki anak,  bi­sa jadi bukan semata-mata karena individualisme, tetapi karena mereka menghadapi sistem sosial dan ekonomi yang tidak responsif terha­dap kebutuhan mereka.

Oleh karena itu, kebijakan yang ingin meningkatkan fertilitas tidak boleh bersifat koersif atau dalam bentuk in­sen­tif jangka pendek semata.

Diperlukan upaya untuk mem­­benahi kondisi sosial ekonomi secara menyeluruh, dari harga hunian yang terjangkau hingga inklusi dalam dunia kerja yang mendukung peran keluarga.

Hal yang sama berlaku pula dalam memahami penuaan penduduk. Parameter de­mografis tradisional seperti rasio ketergantungan se­ring­ kali membingkai lansia sebagai beban.

Tak heran, ini  me­micu kepanikan dan do­rong­an untuk “memperbaiki” struk­tur umur. Cara pandang ini sudah usang dan berisiko mengabaikan kontribusi serta kapasitas ke­lompok lansia.

Sebaliknya, Indonesia perlu meninjau ulang metrik ter­sebut dan mengadopsi pendekatan yang mengakui po­tensi dari populasi lanjut usia. Hal ini termasuk investasi pada infrastruktur ramah lansia, pembelajaran sepanjang hayat, serta program lintas generasi.

Untuk mewujudkan perge­ser­an paradigma ini ke da­lam praktik, Indonesia me­mer­lukan pendekatan kebi­jak­an kependudukan yang terpadu dan bukan sekadar ber­fokus pada target demo­grafis, tetapi harus menyentuh hambatan struktural da­lam kehidupan ber­keluarga.

Pemerintah Indonesia ba­ru-baru ini menerbitkan Desain Besar Pembangunan Ke­pendudukan (DBPK), suatu kerangka terpadu yang akan ditindaklanjuti dengan Peta Jalan Pembangunan Kependudukan (PJPK) di tingkat provinsi.

Hal ini merupakan peluang untuk memastikan bahwa kebijakan kependudukan dapat dijalankan secara kontekstual di daerah.

Meskipun begitu, kerangka ini harus dipahami lebih dari sekedar target-target demo­grafis dan menyentuh fak­tor-faktor nya­ta yang me­menga­ruhi kehidupan masyarakat. Misalnya, hunian yang layak, penitipan anak yang terjangkau, pendidikan yang ber­kualitas, pembagian beban pengasuh­an yang setara, dan la­yanan kesehatan yang mudah diakses.

Kementerian Kependu­duk­­an dan Pembangunan Ke­­­luarga, bersama kemen­terian terkait, harus me­mim­pin koordinasi ini de­ngan komitmen bersama untuk pem­bangunan yang berpusat pada manusia (people-centered development).

Hanya dengan menyelaraskan sistem-sistem ini, Indonesia dapat menciptakan lingkungan di mana individu memiliki kendali atas pilihan hidup mereka dan keluarga dapat berkembang dalam setiap tahap kehidup­annya.

Kebijakan kependudukan yang bermakna seyogianya tidak lagi ditujukan untuk mencapai hasil demografis atau tingkat fertilitas tertentu.

Sebaliknya, seperti yang di­tegaskan dalam Internati­onal Conference on Popula­ti­on and Development (ICPD), kebijakan kependu­duk­an ha­rus berfokus pada pemberdayaan individu untuk dapat menjalani hidup yang ber­martabat.

Langkah selanjutnya bagi Indonesia bukanlah mengi­kut­i kepanikan fertilitas se­perti yang terjadi di negara lain, tetapi memimpin de­ngan visi baru. Dalam hal ini, visi yang memandang kebijakan kependu­duk­an sebagai upaya memberdayakan ma­nu­sia untuk da­pat mencapai aspirasinya.***

×
Berita Terbaru Update