
– Psikologi mengungkap bahwa perilaku pasif-agresif sering kali tersirat dalam cara seseorang membuat postingan di media sosial. Ada beberap ciri khas yang menunjukkan perilaku ini.
Perilaku ini sering kali menjadi cara untuk mengekspresikan emosi tanpa konfrontasi langsung.
Dilansir dari geediting.com pada Minggu (6/7), diterangkan bahwa terdapat sembilan ciri perilaku orang yang pasif-agresit saat membuat postingan di media sosial saja menurut Psikologi.
1. Menyembunyikan kemarahan
Perilaku pasif-agresif di media sosial seringkali muncul sebagai bentuk agresi terselubung yang sulit dikenali. Mereka yang menunjukkan perilaku ini umumnya kesulitan mengekspresikan perasaan atau pikiran mereka secara terbuka dan jujur kepada orang lain.
Fenomena ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari komentar merendahkan yang halus, sindiran yang dibungkus pujian, hingga pernyataan umum yang sebenarnya ditujukan untuk seseorang tertentu tanpa menyebut namanya secara langsung.
Para ahli psikologi menyebutkan bahwa orang-orang yang menunjukkan perilaku seperti ini biasanya memiliki ketakutan akan konfrontasi atau memiliki pengalaman buruk di masa lalu saat berhadapan dengan konflik secara langsung.
2. Menghindari komunikasi langsung
Individu yang sering membuat postingan pasif-agresif biasanya memilih untuk menghindari komunikasi langsung dan lebih memilih menyalurkan perasaannya melalui media sosial.
Mereka cenderung kesulitan mengungkapkan emosi atau kebutuhan mereka secara terbuka, dan media sosial menjadi tempat pelarian yang ideal untuk melampiaskan perasaan tanpa harus berhadapan langsung dengan orang lain.
Perilaku ini sering kali muncul karena adanya ketakutan akan penolakan atau konflik yang mungkin timbul dalam interaksi langsung. Menurut Dr. Brené Brown, seorang psikolog terkenal yang meneliti tentang kerentanan dan keberanian, “Kejelasan itu baik, ketidakjelasan itu tidak baik.”
3. Pola kritik tidak langsung
Karakteristik mencolok dari pembuat konten pasif-agresif adalah kecenderungan mereka untuk mengkritik secara tidak langsung. Alih-alih menghadapi orang atau situasi yang membuat mereka tidak nyaman, mereka memilih untuk menuangkan keluhan mereka di media sosial dengan cara yang terselubung.
Cara mengkritik seperti ini seringkali membuat orang lain harus menebak-nebak maksud sebenarnya dan dapat menimbulkan ketegangan serta kebingungan yang tidak perlu. Penting untuk dipahami bahwa perilaku ini lebih sering muncul karena ketidaknyamanan dengan konfrontasi langsung, bukan karena niat jahat.
4. Penggunaan bahasa ambigu
Pengguna media sosial yang menunjukkan perilaku pasif-agresif sering menggunakan bahasa yang tidak jelas atau ambigu dalam postingan mereka. Kebiasaan ini bisa dilihat dari postingan yang bersifat kriptik, sindiran halus, atau pemikiran yang tidak lengkap yang mengisyaratkan ketidakpuasan tanpa mengatakannya secara langsung.
Jenis komunikasi seperti ini justru dapat memperburuk kesalahpahaman dan konflik, alih-alih mendorong pemahaman dan penyelesaian masalah. Penggunaan bahasa yang tidak jelas ini seringkali menjadi mekanisme pertahanan diri yang membuat orang lain kesulitan memahami maksud sebenarnya.
5. Penggunaan sarkasme dan ejekan
Sarkasme dan ejekan menjadi alat yang sering digunakan oleh mereka yang berperilaku pasif-agresif di media sosial untuk mengekspresikan ketidakpuasan, kekesalan, atau kemarahan secara tidak langsung.
Metode komunikasi seperti ini dapat menciptakan lingkungan di mana orang merasa direndahkan atau tidak dihargai, alih-alih merasa dihargai dan didengar.
Bagi mereka yang berkomitmen untuk menumbuhkan rasa hormat dan empati dalam hubungan, sarkasme dan ejekan yang digunakan secara pasif-agresif dapat merusak nilai-nilai tersebut. Penting untuk mengenali pola-pola ini dan memilih cara yang lebih konstruktif dalam mengekspresikan perasaan.
6. Kebutuhan akan perhatian dan validasi
Perilaku pasif-agresif di media sosial seringkali berakar dari kebutuhan mendalam akan perhatian dan validasi dari orang lain. Dengan membuat pesan-pesan yang bersifat kriptik atau provokatif, mereka berharap mendapatkan respons atau melibatkan orang lain dalam narasi emosional mereka. Meskipun mungkin ada keinginan untuk mengabaikan atau bereaksi negatif terhadap perilaku ini, penting untuk memahami bahwa setiap individu memiliki nilai fundamental. Postingan semacam ini mungkin merupakan cara tersembunyi untuk mencari koneksi dan pemahaman dari orang lain.
7. Kecenderungan ke arah negatif
Individu yang sering menunjukkan perilaku pasif-agresif di media sosial cenderung memiliki pandangan yang negatif secara umum dalam kehidupan mereka. Hal ini dapat terlihat dari postingan, komentar, atau konten yang mereka bagikan, yang secara teratur memiliki nada pesimistis atau kritis.
Para ahli psikologi menunjukkan bahwa negativitas semacam ini mungkin mencerminkan keadaan pikiran internal mereka, yang bisa mengindikasikan ketidakpuasan dengan berbagai aspek kehidupan atau perasaan tidak bahagia yang mendasarinya.
8. Preferensi konfrontasi online
Orang-orang yang membuat postingan pasif-agresif di media sosial lebih memilih konfrontasi online daripada penyelesaian masalah secara tatap muka. Mereka sering menggunakan platform digital untuk mengungkapkan ketidakpuasan atau ketidaknyamanan mereka secara tidak langsung, tanpa harus menghadapi reaksi atau konsekuensi langsung yang mungkin muncul dari konfrontasi tatap muka.
Preferensi untuk konfrontasi online ini dapat menyebabkan kesalahpahaman dan konflik berkepanjangan karena komunikasi digital tidak memiliki nuansa bahasa tubuh dan nada suara yang membantu pemahaman dalam interaksi tatap muka.
9. Kecenderungan mentalitas korban
Orang-orang yang secara teratur membuat postingan pasif-agresif di media sosial sering menunjukkan kecenderungan mentalitas korban dalam pandangan hidup mereka. Mentalitas ini muncul sebagai kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai korban keadaan, yang mengakibatkan menyalahkan orang lain atau faktor eksternal atas tantangan atau pengalaman negatif pribadi.
Sementara kadang-kadang wajar merasa seperti korban dalam situasi sulit, mempertahankan pola pikir ini dapat menghambat pertumbuhan dan pemberdayaan pribadi. Penting untuk diingat bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keadaan mereka melalui sikap, tindakan, dan respons yang mereka pilih.