
- Fenomena warga Indonesia yang lebih memilih berobat ke luar negeri bukan hal baru. Tapi jumlahnya kini mengejutkan, hingga mendekati Rp 200 triliun per tahun lari ke luar negeri hanya untuk layanan kesehatan.
Ini jelas bukan sekadar soal pilihan, tapi juga sinyal serius soal kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan dalam negeri. Fenomena ini menjadi sorotan dalam podcast Helmy Yahya Bicara yang mengundang Tantowi Yahya sebagai tamu.
Diskusi keduanya menyoroti bagaimana eksodus pasien ini menjadi 'krisis tersembunyi' yang terus menggerus devisa negara. "Jika dana sebesar ini bisa digunakan di dalam negeri, bayangkan berapa banyak subsidi yang bisa diberikan untuk rumah sakit dan peningkatan fasilitas kesehatan bagi rakyat," ujar Tantowi dengan nada prihatin dalam podcast tersebut, dikutip Jumat (4/7).
Kenapa berobat ke luar negeri?
Dalam perbincangan tersebut, Tantowi pun membagikan pengalamannya berobat ke Penang, Malaysia, yang menurutnya menawarkan pelayanan cepat, murah, dan nyaman. Ia mencontohkan, hasil medical check-up di Penang keluar dalam waktu tiga jam, sementara di Indonesia bisa memakan waktu berhari-hari.
Soal biaya, ia menyebut perbandingannya bisa lebih murah 70 persen dibanding rumah sakit swasta di tanah air. "Pelayanan dokter di sana sangat baik, informatif, rileks, dan mereka bahkan berbahasa Indonesia," kenangnya.
Ia bahkan dibuat kagum oleh dokter internis yang sangat teliti dan tak buru-buru menganjurkan rawat inap jika tak diperlukan. Obat pun disarankan dibeli di luar rumah sakit karena lebih hemat.
Dimana letak masalahnya?
Helmy dan Tantowi dalam kesempatan podcast tersebut juga mengidentifikasi akar permasalahan mengapa Indonesia kalah saing dalam sektor layanan kesehatan. Pertama, pajak tinggi terhadap impor alat medis menyebabkan biaya pelayanan jadi mahal.
Selain itu, perizinan pendirian rumah sakit yang rumit dan bisa memakan waktu hingga dua tahun, sering kali disertai praktik ekonomi biaya tinggi. Ditambah, komersialisasi rumah sakit, yang lebih fokus pada keuntungan dibandingkan misi sosial dan pelayanan publik juga membuat biaya kesehatan jadi membengkak dan sulit dijangkau masyarakat biasa.
Terakhir, arah subsidi pemerintah yang dianggap keliru. Dalam podcast tersebut, Kakak beradik itu juga menyoroti arah subsidi pemerintah yang justru lebih fokus ke mobil listrik ketimbang infrastruktur kesehatan.
Saatnya membenahi sistem kesehatan
Angka Rp 172 triliun hingga Rp200 triliun bukan jumlah kecil. Dana sebesar itu bisa membiayai pembangunan rumah sakit bertaraf internasional di berbagai kota, mendatangkan tenaga medis berkualitas, hingga menyubsidi alat kesehatan canggih.
Tapi kenyataannya, uang itu justru mengalir ke rumah sakit-rumah sakit di Malaysia, Singapura, Thailand, bahkan Jepang dan Korea. Fenomena ini juga berdampak pada kepercayaan masyarakat, yang makin hari makin beralih ke luar negeri demi mendapatkan layanan yang dirasa lebih manusiawi dan profesional.
Jika tidak segera dibenahi, Indonesia bukan hanya akan kehilangan devisa, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk membangun sistem kesehatan yang berdaulat dan dipercaya rakyatnya sendiri.