BERITA KBB - Muncul sebuah fenomena mengejutkan terkait gelombang mundurnya tenaga kerja atau karyawan wanita dalam dunia kerja di AS tahun 2025.
Berdasarkan laporan Biro Statistik Tenaga Kerja AS yang dirilis 1 Agustus 2025, mengungkap sebanyak 212.000 perempuan berusia 20 tahun ke atas dilaporkan telah meninggalkan dunia kerja mereka sejak Januari 2025.
Misty Lee Heggeness, profesor ekonomi dan urusan publik di University of Kansas menyebut, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan usia 25–44 yang tinggal bersama anak di bawah lima tahun turun hampir tiga poin persentase, dari 69,7 persen menjadi 66,9 persen.
"Ini kemunduran besar," ujar Heggeness sebagaimana dilansir dari TIME pada Minggu, 10 Agustus 2025.
Padahal, lanjut Heggeness, sejak 2022 hingga awal 2025, angka tersebut melonjak berkat kebijakan kerja fleksibel yang membantu perempuan mencari penghasilan untuk keluarganya.
Sayangnya, 2025 menjadi tahun di mana fleksibilitas itu mulai dicabut. Presiden AS, Donald Trump memerintahkan pegawai federal kembali bekerja di kantor lima hari sepekan, meski banyak yang sudah pindah jauh atau terbiasa bekerja jarak jauh.
Perusahaan besar seperti Amazon hingga JP Morgan pun mengikuti langkah serupa. Menurut Flex Index, proporsi perusahaan Fortune 500 yang mewajibkan kerja penuh di kantor naik dari 13 persen di akhir 2024 menjadi 24 persen pada kuartal II 2025.
Julie Vogtman, Direktur Senior Pusat Hukum Perempuan Nasional di AS menuturkan, dampaknya terasa paling besar pada perempuan berpendidikan sarjana. Tingkat partisipasi mereka yang sempat menyentuh 70,3 persen pada September 2024 kini turun menjadi 67,7% pada Juli 2025.
"Bukan kebetulan kalau partisipasi perempuan turun ketika fleksibilitas hilang," kata Vogtman dalam artikel yang sama.
Vogtman menegaskan, penelitian menunjukkan perempuan memanfaatkan kerja jarak jauh untuk tetap bertahan di dunia kerja.
"Perempuan masih memikul porsi terbesar tanggung jawab pengasuhan. Ketika beban ini tak lagi seimbang dengan pekerjaan, mereka lebih mungkin mundur dibanding pria," tuturnya.
Studi 'Survei Walr' terhadap resume karyawan di Microsoft, SpaceX, dan Apple pada tahun 2024, menemukan adanya eksodus karyawan senior setelah kebijakan ini, yang justru mengancam daya saing perusahaan.
Fenomena itu dinilai telah menunjukkan hampir dua pertiga eksekutif C-suite mengaku kebijakan ini membuat banyak perempuan keluar, memicu kesulitan rekrutmen dan penurunan produktivitas.
"Kebanyakan keputusan ini datang dari orang-orang yang punya 'privilege' karena mereka punya orang yang suka memasak, menyetrika, atau menjemput anak ke daycare," tutur Heggeness dalam artikel yang sama.
Masalah lain yang dinilai menekan perempuan pekerja adalah krisis biaya dan akses childcare.
Pendanaan federal untuk penitipan anak berkurang drastis pada 2025, memaksa banyak pusat penitipan tutup atau menaikkan tarif. Deportasi massal juga memperparah situasi, mengingat sekitar 20 persen tenaga kerja di sektor ini adalah imigran.
Akibatnya, pengeluaran keluarga AS untuk pendidikan anak yang sempat turun pada 2023-2024 kembali melonjak sejak akhir 2024, naik 3,3 persen di kuartal IV, dan terus naik sepanjang 2025.
"Banyak perempuan kini sulit membuat perhitungan biaya agar masuk akal," tukas Vogtman.***